LATAR BELAKANG
Senin,
12 Maret 2018
~ Oleh Traditional Games Returns ~ Dilihat 10152 Kali
Indonesia memiliki berbagai macam permainan tradisional di setiap daerah. Permainan tradisional tersebut misalnya engklek, ular naga, congklak, benteng, gobak sodor/galasin, gasing dan sebagainya. Permainan tradisional ini sangat digemari oleh anak-anak, khususnya pada generasi 70-90an. Namun, memasuki tahun 2000 eksistensi permainan tradisional menurun seiring dengan berkembangnya teknologi dan fitur canggih dalam gawai.
(Dokumentasi TGR Community, 2018)
Banyaknya anak yang menggandrungi gim daring mengakibatkan anak kurang mengenal permainan tradisional. Fakta mengenai banyaknya anak yang lebih memilih permainan digital daripada permainan tradisional diperkuat oleh hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh U-Report Indonesia. Jajak pendapat diikuti oleh 4.821 responden dari seluruh Indonesia untuk mengetahui minat permainan masyarakat Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak usia di bawah 14 tahun lebih menggemari permainan digital daripada permainan tradisional dengan alasan kemudahan akses dan kecanggihan teknologi (U-Report Indonesia, 2017). Hasil survei selengkapnya dapat dibaca di sini
(Dokumentasi TGR Community, 2018)
World Health Organization (WHO) juga menetapkan kecanduan bermain gim sebagai gangguan mental yang disebut dengan gaming disorder. WHO telah menambahkan gaming disorder ke dalam International Classification of Diseases (ICD) edisi revisi ke 11. Penyakit ini dipicu oleh kebiasaan bermain gim yang intens dan memprioritaskan gim di atas kepentingan atau aktivitas harian yang lain (World Heatlh Organization, 2018). Dalam hal ini, peran orangtua sangat berpengaruh untuk membatasi anak saat bermain gim daring atau mengakses internet.
(Dokumentasi TGR Community, 2018)
Sesuai dengan fakta di atas, anak-anak seharusnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain permainan fisik. Gallahue (dalam Mulyani, 2016, p.25) mengatakan bahwa bermain adalah kebutuhan anak yang melibatkan interaksi dengan lingkungannya. Aktivitas bermain dilakukan dengan spontan dan langsung bersama teman-teman. Aktivitas tersebut dapat menstimulasi anak untuk berimajinasi dan menimbulkan perasaan bahagia.
(Dokumentasi TGR Community, 2018)
Parten (dalam Mulyani, 2016, p.29) menyebutkan bahwa salah satu fungsi bermain bagi anak adalah sebagai sarana sosialisasi. Anak dapat berekspresi dengan bebas, mengeksplorasi hal-hal baru dan membantunya untuk mengenal diri serta lingkungannya. Selain itu, bermain juga merupakan belajar dengan cara yang menyenangkan. Bermain sambil belajar dapat dilakukan dengan memainkan permainan tradisional. Menurut Ismail (dalam Hasanah & Pratiwi, 2017, p.34) permainan tradisional merupakan jenis permainan yang mengandung nilai budaya dan memiliki banyak muatan positif. Muatan positif tersebut antara lain melibatkan anak untuk berpikir, berimajinasi dan mengasah strategi bermain untuk menang serta mengendalikan dirinya.
(Dokumentasi TGR Community, 2018)
Banyaknya manfaat dari kegiatan bermain permainan tradisional untuk anak dan kondisi yang sangat mengkhawatirkan dari dampak anak-anak kecanduan gawai inilah yang mendorong Traditional Games Returns (TGR) Community untuk mengajak anak-anak kembali bermain tradisional. Mengusung slogan "Lupakan Gadgetmu, Ayo Main di Luar!", dimaksudkan agar anak-anak lebih dapat akrab dengan teman sebaya untuk menumbuhkan jiwa sosial daripada menjadi individualis hanya karena bermain gawai. (AW)
REFERENSI:
- Hasanah, N. I., & Pratiwi, H. (2017). Pengembangan Anak Melalui Permainan Tradisional. Yogyakarta, Indonesia: Aswaja Pressindo.
- Mulyani, N. (2016). Super Asyik Permainan Tradisional Anak Indonesia. Yogyakarta, Indonesia: DIVA Press.
- U-Report Indonesia. (2017, November 17). Jajak Pendapat: Kampanye Traditional Games Returns #TGRCampaign. Diperoleh 12 Juni 2021 dari http://indonesia.ureport.in/poll/2384/
- World Heatlh Organization. (2018, September). Gaming Disorder. Diperoleh 12 Juni 2021 dari: http://www.who.int/features/qa/gaming-disorder/en/