Meninggalkan Mitos Parenting yang Merugikan Anak, Yaudah Bye-Bye Dulu
Kamis,
29 Agustus 2024
~ Oleh Traditional Games Returns ~ Dilihat 128 Kali
Halo Sobat TGR! Sebagai Warga Negara Indonesia pastinya sudah tidak asing lagi dengan hal yang disebut mitos, terlebih lagi Indonesia terdiri dari beragam suku serta kebudayaan. Danandjaja (1994) berpendapat bahwa mitos merupakan kepercayaan rakyat yang dipercayai secara turun-temurun dan tidak bersifat ilmiah.
Banyak sekali mitos yang sudah ditemui, salah satunya dalah mitos yang berkaitan dengan pola asuh. Apa saja sih mitos-mitosnya? Yuk, simak beberapa mitos parenting yang sering kita temukan.
1.The Terrible Twos
(Febrida, 2020)
The Terrible Twos merupakan fase yang muncul saat anak berusia dua tahun. Fase Terrible Twos pun tidak harus terjadi tepat saat anak berusia 2 tahun. Biasanya fase ini terjadi sejak Si Kecil menginjak usia 1,5 tahun dan berakhir sendiri di usia 4 tahun.
Di masa ini, Si Kecil sedang berada di fase aktif dalam mengekspresikan emosinya atau dengan kata lain fase yang menggambarkan perubahan perilaku, seperti saat mengungkapkan perasaan tidak nyaman dengan menangis hingga berteriak. Namun, pada usia ini Si Kecil belum bisa meregulasi emosinya sehingga di sinilah peran penting orang tua.
Orang tua memiliki peran aktif dalam mengajarkan regulasi emosi pada anak, seperti mengajaknya berkomunikasi mengenai apa yang mengganggu dirinya atau yang membuat dirinya emosi, “Adik terlihat kesal, apa yang membuat adik kesal?” Dengan begitu, Si Kecil dapat berlatih mengomunikasikan perasaannya dengan baik (Klinik Pintar, 2024).
2. Hukuman Perlu Diterapkan pada Anak
(FindAuPair, 2016)
Banyak orang tua yang lebih suka menggunakan hukuman sebagai jalan untuk mendisiplinkan Si Kecil. Alih-alih menghukum Si Kecil, sebaiknya orang tua memberikan pelajaran yang baik kepada Si Kecil karena pada masa ini Si Kecil adalah peniru ulung, jika orang tua memukul atau memarahi anak, ia malah bisa mengikuti perbuatan buruk tersebut.
Orang tua dapat memberikan pengertian dengan bahasa yang mudah dimengerti pada Si Kecil, seperti ketika selesai bermain harus bertanggung jawab dengan mainannya dengan mengembalikan ke “rumahnya”. Misalnya, saat Si Kecil tidak membereskan mainannya setelah selesai bermain maka, Si Kecil dapat diberikan konsekuensi untuk tidak bisa bermain di esok harinya. Dari hal tersebut, Si Kecil dapat berlatih bertanggung jawab untuk merapikan mainannya dan mengembalikan ke ‘rumahnya’ setelah bermain.
3. Tidak Perlu Memanjakan Si Kecil
Memanjakan Si Kecil tidak selalu membuatnya menjadi sosok yang ‘melunjak’ terhadap orang tua, tetapi perhatikan batasannya. Mendukung minatnya terhadap sesuatu justru akan membuatnya belajar menjadi sosok yang lebih baik. Misalnya, ketika Si Kecil meminta untuk dimasukkan ke tempat les piano karena ia tertarik memainkannya, orang tua dapat mempertimbangkan untuk mendaftarkannya belajar bermain piano.
Namun, jika keinginan Si Kecil belum dapat dilakukan oleh orang tua maka berikan pengertian padanya agar ia tidak memberikan tuntutan yang tidak pantas kepada orang tua seperti “aku mau sekarang juga” (Li, 2022).
4. Orang Tua Tidak Perlu Menjadi Teman untuk Si Kecil
Masih ada orang tua yang berpikir jika menjadi teman bagi Si Kecil akan membuat tidak ada batasan antara Si Kecil dengan orang tuanya. Faktanya, orang tua yang dapat menjadi teman bagi Si Kecil memberikan dampak positif kepada Si Kecil (Grouu.id, 2022).
Selain itu, orang tua juga dapat mencoba masuk ke dalam dunia Si Kecil. Misalnya saja, orang tua mencoba untuk mengenal dan belajar mengenai platform media sosial, seperti TikTok ataupun YouTube. Dari hal tersebut, orang tua juga bisa paham apa yang sedang disukai oleh Si Kecil dan secara tidak langsung dapat memantau Si Kecil dalam menggunakan media sosialnya (Binus, 2024).
5. Si Kecil Tidak Boleh Bersedih
(Roger, 2020)
Jika Si Kecil terlihat sedih, tidak sedikit orang tua khawatir terhadap Si Kecil. Padahal, merasa sedih merupakan hal normal yang dapat dirasakan manusia termasuk anak-anak karena tiap individu dilahirkan dengan berbagai emosi yang melekat. Namun, apabila kesedihan pada Si Kecil berlangsung dalam jangka waktu yang lama, orang tua perlu khawatir dan menanyakan kepada Si Kecil tentang kondisinya (Grouu.id, 2022).
Kira-kira, itulah beberapa mitos yang dapat Mimin TGR infoin nih sobat. Kira-kira, ada tidak ya mitos pola asuh lain yang ada di sekitar kita? Lupakan Gadget-mu, Ayo Main di Luar! (ACN/e.d ZY dan HRV)
Untuk Sobat TGR yang ingin berkolaborasi dengan kami, mulai dari menjadi pengisi acara, tenant hingga narasumber, hubungi kami dengan klik tautan ini ya.
Referensi:
Artikel Website:
Binus. (2024, April). Apakah orangtua dan anak bisa berteman? BINUS University. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://parent.binus.ac.id/2024/04/apakah-orangtua-dan-anak-bisa-berteman/
Francis, C. (2020). 10 parenting myths – Exposed! SmartParents. Diakses pada 27 Agustus 2024, dari https://www.smartparents.sg/parenting/relationships/10-parenting-myths-exposed
Grouu. id. (2022). Orang tua sebaiknya hindari 4 mitos parenting ini. Grouu. Diakses pada 24 Agustus 2024, dari https://www.grouu.id/artikel/orang-tua-sebaiknya-hindari-4-mitos-parenting-ini
Klinik Pintar. (2024). 9 cara mengendalikan emosi pada anak. Klinik Pintar. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://klinikpintar.id/blog-pasien/9-cara-mengendalikan-emosi-pada-anak?utm_source=google&utm_medium=organic&utm_campaign=search&utm_term=
Li, P. (2022). 7 common parenting myths we have believed for generations. Parenting For Brain. Diakses pada 24 Agustus 2024, dari https://www.parentingforbrain.com/parenting-myths/
Buku:
Danandjaja, J. (1994). Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Traditional Games Returns Tgr Parenting Mitos Parenting