Traditional Games Returns

Lupakan Gadgetmu, Ayo Main di Luar!

Helicopter Parenting: Sayang Anak atau Terlalu Mengontrol?

Senin, 09 Juni 2025 ~ Oleh Traditional Games Returns ~ Dilihat 332 Kali

Halo, Sobat TGR! Siapa di sini yang sudah menjadi orang tua? Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya bukan? 

Kita semua tentu saja ingin melihat mereka tumbuh bahagia, aman, dan sukses dalam hidupnya. Naluri untuk melindungi ini begitu alami dan kuat dalam diri kita sebagai orang tua.

Nah, Sobat TGR pernah nggak merasa ingin selalu ada di setiap langkah anak dan memastikan semua berjalan mulus tanpa hambatan sedikit pun? Keinginan ini sangat wajar, namun ada batas tipis antara melindungi dan terlalu mengontrol. Inilah yang kemudian memunculkan sebuah istilah yang cukup populer dalam dunia parenting.

Ya, kita akan membahas tentang helicopter parenting. Istilah ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga Sobat TGR, atau mungkin ada yang baru baru pertama kali mendengarnya? Yuk, kita bahas dalam untuk mengenali apa itu helicopter parenting, bagaimana tanda-tandanya, apa dampaknya, dan tentu saja, bagaimana kita bisa mengarahkan pola asuh agar anak menjadi lebih mandiri dan tangguh.

Apa Itu Helicopter Parenting?

Nah Sobat TGR, helicopter parenting adalah istilah yang menggambarkan pola asuh di mana orang tua terlalu “mengorbit” atau mengawasi anaknya secara berlebihan. Seperti helikopter, mereka selalu “terbang” di atas anaknya, siap turun tangan kapan pun si kecil mengalami kesulitan bahkan untuk hal sepele sekalipun.

Awalnya, pola asuh ini muncul karena dorongan cinta dan niat baik. Orang tua ingin memberikan yang terbaik, melindungi dari kesalahan, dan memastikan anak sukses dalam segala hal. Akan tetapi Sobat TGR, tanpa disadari ini malah bisa menghambat proses belajar alami anak melalui pengalaman pribadi mereka.

Ilustrasi Orang Tua yang Overprotektif

Helicopter parenting sering terlihat dalam berbagai aktivitas, seperti terlalu sering ikut campur dalam tugas sekolah, memilihkan teman, hingga menentukan hobi si kecil. Semua dilakukan dengan alasan “demi kebaikan”, tapi orang tua tidak menyadari bahwa anak juga butuh ruang untuk tumbuh. Istilah ini pertama kali populer di Amerika Serikat, namun kini semakin banyak dibahas di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Fenomena ini berkembang seiring meningkatnya tekanan sosial dan kompetisi dalam pendidikan serta kehidupan anak. Dengan mengetahui apa itu helicopter parenting, Sobat TGR bisa mulai menilai nih pola asuh yang diterapkan di rumah. Apakah sudah balance? Atau justru tanpa sadar terlalu mengontrol?

Tanda-Tanda Orang Tua Berperilaku Helikopter

Setelah tahu definisinya, mungkin Sobat TGR bertanya-tanya, "Apakah aku termasuk orang tua helikopter?" atau "Seperti apa sih ciri-cirinya secara spesifik?”. Memang  terkadang batas antara mendukung dan terlalu ikut campur itu tipis sekali. Yuk, kita coba identifikasi beberapa tanda yang mungkin menunjukkan perilaku helicopter parenting, agar kita bisa lebih sadar dan bijak.

Salah satu tanda yang paling kentara adalah ketika orang tua sering mengerjakan tugas sekolah anak. Niatnya mungkin agar anak mendapat nilai bagus, tapi ini menghilangkan kesempatan anak untuk belajar dan bertanggung jawab. Alih-alih membantu mengarahkan, mereka justru mengambil alih sepenuhnya proses pengerjaan tugas tersebut.

Ilustrasi Orang Tua Mengerjakan Tugas Anaknya

Kemudian Sobat TGR, orang tua dengan helicopter parenting juga sering kali terlalu mengatur jadwal anak hingga sangat padat tanpa memberi ruang untuk bermain bebas atau beristirahat. Setiap waktu luang diisi dengan berbagai les atau kegiatan terstruktur, dengan harapan anak bisa unggul di banyak bidang. Padahal, waktu santai dan bermain juga penting untuk kreativitas dan mental health anak.

Tidak hanya itu, mereka juga cenderung menyelesaikan semua masalah anak, bahkan konflik kecil dengan teman sebayanya. Misalnya, langsung menelepon orang tua teman atau guru hanya karena konflik kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan sendiri oleh anak. Mereka ingin memastikan anak tidak pernah merasa sedih atau dirugikan sedikit pun.

Ilustrasi Konflik/Perkelahian Kecil antara Anak-anak

Ciri lainnya adalah orang tua yang selalu berbicara mewakili anaknya, bahkan ketika anak tersebut sudah cukup besar untuk menjawab pertanyaan sendiri. Sobat TGR, orang tua dengan helicopter parenting sering kali seolah menjadi juru bicara dan membatasi kesempatan anak untuk belajar berkomunikasi serta mengemukakan pendapat. Ini sering terjadi dalam interaksi sosial, bahkan saat konsultasi dengan dokter atau guru.

Nah, orang tua dengan helicopter parenting juga memiliki kecemasan berlebih terhadap keselamatan anak, hingga membatasi eksplorasi dan pengalaman baru yang sesuai usia. Mereka mungkin melarang anak bermain di luar dengan teman-temannya karena takut kotor atau cedera. Akibatnya, anak jadi kurang berani mencoba hal baru dan cenderung penakut.

Ilustrasi Anak yang Dibatasi oleh Orang Tua

Selain itu, orang tua kerap kali membuat keputusan besar untuk anak tanpa melibatkan mereka, bahkan ketika anak sudah cukup matang untuk dilibatkan dalam sebuah diskusi. Misalnya, memilihkan ekstrakurikuler, jurusan sekolah, atau bahkan teman bermain tanpa mempertimbangkan minat dan keinginan anak. Ini menunjukkan kurangnya kepercayaan pada kemampuan anak untuk memilih.

Terakhir, tanda yang juga sering muncul adalah kesulitan orang tua untuk melepaskan kontrol seiring bertambahnya usia anak. Mereka mungkin masih ingin mengantar jemput anak yang sudah remaja atau terus menerus memantau aktivitas anak di media sosial secara berlebihan. Mereka sulit menerima bahwa si kecil juga butuh privasi dan ruang pribadi untuk dirinya sendiri.

Dampak Helicopter Parenting Terhadap Anak

Nah, setelah Sobat TGR mengenali berbagai ciri perilaku orang tua helikopter, mungkin muncul pertanyaan selanjutnya, "Kalau semua itu terjadi, sebenarnya dampaknya apa, sih, buat anak?".

Ternyata, pengaruhnya nggak bisa dianggap sepele, lho! Meskipun kelihatannya helicopter parenting ini penuh perhatian, tapi kalau berlebihan, bisa jadi bumerang buat perkembangan anak. Nah Sobat TGR, biar lebih jelas, yuk kita bahas sama-sama apa saja dampaknya!


Ilustrasi Anak yang Kurang Percaya Diri

Salah satu dampak utama adalah anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kurang mandiri dan kurang percaya diri. Karena anak sudah terbiasa dengan masalah yang selalu diselesaikan oleh orang tua, mereka jadi ragu dengan kemampuan diri sendiri untuk mengatasi masalah. Mereka mungkin merasa tidak kompeten atau selalu membutuhkan bantuan orang lain.

Selain itu Sobat TGR, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua helikopter cenderung memiliki keterampilan problem solving yang buruk. Mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan atau kegagalan, sehingga ketika dihadapkan pada situasi sulit, mereka mudah menyerah atau bingung. Padahal, kemampuan problem solving ini sangat penting untuk kehidupan dewasa mereka nanti.

Dampak lainnya yang cukup serius adalah meningkatnya risiko anak mengalami kecemasan dan bahkan depresi. Tuntutan dan pengawasan yang terus-menerus bisa membuat anak merasa tertekan dan tidak mampu memenuhi ekspektasi orang tua. Mereka juga bisa menunjukkan perasaan takut yang berlebihan terhadap kegagalan.

Ilustrasi Anak yang Depresi

Anak juga bisa kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri lho, Sobat TGR! Jika sejak kecil semua keputusan ditentukan oleh orang tua, mereka tidak akan belajar bagaimana menghadapi pilihan dan konsekuensinya. Akibatnya, saat dewasa, mereka bisa menjadi orang yang pasif dan sulit menentukan arah hidupnya.

Pada akhirnya, pola asuh helikopter bisa menghambat perkembangan resiliensi atau ketangguhan anak. Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, yang dipelajari melalui pengalaman menghadapi tantangan dan kegagalan.

Cara Mengatasi Helicopter Parenting

Melihat berbagai dampak negatif tadi, tentu kita sebagai orang tua ingin menghindarinya kan, Sobat TGR? Untungnya, selalu ada cara untuk memperbaiki atau menghindari helicopter parenting ini. Apa saja sih caranya?

Ilustrasi Anak yang Bertanggungjawab Terhadap Mainannya

Pertama, Sobat TGR bisa memulainya dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang sesuai dengan usia anak. Biarkan mereka mencoba melakukan hal-hal sendiri, bahkan jika itu berarti mereka akan membuat kesalahan. Anggap saja kesalahan mereka sebagai bagian dari proses belajar.

Kemudian, latih anak untuk memecahkan masalahnya sendiri sejak dini. Ketika mereka menghadapi kesulitan, jangan langsung turun tangan ya, Sobat TGR! Ajak mereka berdiskusi, tanyakan apa ide mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan berikan dukungan moral alih-alih solusi instan.

Selanjutnya, penting untuk mengelola ekspektasi dan kecemasan kita sendiri sebagai orang tua. Perlu dipahami bahwa kita tidak bisa mengontrol segalanya, serta si kecil juga perlu ruang untuk bertumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Jadi kita perlu fokus pada proses dan usaha anak, bukan hanya pada hasil akhir atau pencapaian anak.

Last but not least, jangan takut untuk membiarkan anak merasakan sedikit "ketidaknyamanan" atau kekecewaan ya, Sobat TGR! Ini adalah bagian alami dari kehidupan yang akan membantu mereka membangun karakter yang kuat dan empati.

Nah Sobat TGR, menjadi orang tua memang bukan hal yang mudah, apalagi di era modern seperti sekarang. Tapi, dengan memahami pola asuh yang lebih sehat dan memberi ruang tumbuh bagi anak, kita bisa membantu mereka menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh. Ingat, mendampingi bukan berarti harus mengendalikan semuanya.

Daripada terus memantau dan mengekang anak, bagaimana kalau kita bebaskan mereka bermain di luar? Permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, atau congklak bukan hanya seru, tapi juga bisa jadi momen untuk mempererat hubungan antara orang tua dan si kecil. Lupakan Gadget-mu, Ayo Main di Luar! (IQI/ed. NRA)

Bagi Sobat TGR yang ingin berkolaborasi dengan kami, baik menjadi pengisi acara, tenant, maupun narasumber, cukup klik tautan di sini, ya! 

Writer: Risqi Apriansah

Editor: Naura Ashyffa

Graphic Designer: Indiana

QC/Publisher: R. Harvie R. B. R

Referensi:

Adrian, K. (2024) Seputar Pola Asuh Helikopter Dan Dampak Yang ditimbulkan, Alodokter. Available at: https://www.alodokter.com/yuk-kenali-lebih-jauh-tentang-pola-asuh-helikopter

Dewi, S. A. (2022). PENGARUH HELICOPTER PARENTING TERHADAP KESEHATAN MENTAL ANAK: STUDI LITERATUR. https://thejournalish.com/ojs/index.php/sudutpandang/article/view/395

Hospital, P. (2022). Helicopter Parenting, Waspadai Dampaknya pada Anak. Primaya Hospital. https://primayahospital.com/anak/helicopter-parenting/

Manuela, O. (2024). Mengenal Apa Itu Helicopter Parenting dan Dampak Negatifnya untuk Anak. fimela.com. https://www.fimela.com/parenting/read/5751093/mengenal-apa-itu-helicopter-parenting-dan-dampak-negatifnya-untuk-anak

Redaksi, & Simamora, N. S. (2025). Apa itu Helikopter Parenting dan Cara Mencegahnya. Bisnis.com. https://lifestyle.bisnis.com/read/20250502/106/1873844/apa-itu-helikopter-parenting-dan-cara-mencegahnya

Siloam Hospitals (2024). Siloam Hospitals. https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-helicopter-parenting

Traditional Games Returns Tgr Parenting Parenting Helicopter Parenting Ciri-ciri Helicopter Parenting Dampak Helicopter Parenting Pada Anak
Komentari Tulisan